PAHLAWAN
Skenario : Toto Prastyo
Dari Cerpen Karangan : Finlan Adhitya
Aldan
TITLE
PAHLAWAN
EXT. HALAMAN RUMAH
Dasa
“Jadi, apa pedulimu dengan tempat
ini, Nak?”
tangan bergemetar memegang pagar besi setinggi perut di depannya. Matanya
layu.
Dasa
“Ditempa zaman, Nak. Orang-orang
berkulit sepertiku lah yang sejatinya memiliki kecintaan paling besar kepada
negeri.”Titik-titik air mulai turun. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes mulai membahasi tangan.
Dasa
“Janganlah kau terlalu sering terkena
air hujan itu, Nak.”
Ardi
“Sesekali tak apa lah, Kek. Aku suka
hujan.”
Dasa
“Kandungan sulfur di dalamnya sudah
berlebihan. Kau tahu, aku hanya butuh terkena hujan ini sebanyak delapan kali
untuk mendapatkan retakan ini.”
Dasa
“Dulu tanganku tak kasar. Halus. Berotot. Maskulin. Aku dulu seorang…”
Ardi
“Penjelajah. Ini kedelapan kalinya
kau bercerita seperti itu, Kek.” (sambil tertawa)
Dasa
“Kau menghitung?” (ikut tertawa)
Ardi
“Semua perkataan Kakek yang diulang,
aku hitung.”
“Kek, kenapa namamu Dasa? Kau sudah
menceritakan semua hal kecuali hal ini. Apakah namanya terlalu keren untuk
diceritakan?”
Dasa
“Dasar, anak muda sekarang punya
kadar sarkasme yang sangat tinggi. Namaku berubah-ubah setiap satu dasawarsa,
Nak. Dulu, ketika umurku menjelang tujuh puluh tahun, namaku Sapta. Ketika
umurku beranjak ke delapan puluh tahun, namaku okta.
Ketika umurku menjelang sembilan puluh tahun,
namaku Nona. Aku sering dihina pada sepuluh tahun itu. Jelas, namaku seperti
nama seorang wanita yang sangat feminim. Tapi, itu prinsipku. Namaku
berubah-ubah untuk mengingat umur, Nak. Selama apa pun kau berpijak di tanah,
pada akhirnya kau akan menyatu dengannya.
Sekarang, umurku sudah sembilan puluh
sembilan tahun. Oleh karena itu namaku Dasa. Artinya sepuluh. Dan besok aku
berulang tahun yang keseratus! Entah nama apa yang aku pakai untuk besok lusa
di usiaku yang sudah lebih dari seratus.” (Dasa kembali tertawa)
“I’m ninety nine for a momment. Dying
for just another momment and I’m… ah aku lupa lanjutan lagunya. Dulu itu lagu
kesukaanku. Five for Fighting, 100 Years. Selalu mengingatkanku pada umur.
Tubuhku sudah rusak, Nak. Bahkan, aku bisa berkata bahwa seluruh organ tubuhku
sudah memilki penyakit.
Tak terhitung berapa kali aku harus,
seharusnya, minum obat dalam satu hari. Tapi, aku sadar, boy, pada akhirnya
kita akan mati, bukan? Untuk apa obat-obat itu?”
“Hei, Nak. Kau tahu cita-citaku? Mati
pada umurku yang keseratus. Berarti itu besok! Tapi, entahlah. Dengan kondisi
tubuhku yang sepertinya masih kuat menopang segala jenis penyakit. Kupikir, aku
akan mati di umurku yang keseratus lima. Maksimal keseratus tujuh.”
Ardi
“Berarti kau lahir ketika Krisis
Moneter melanda Indonesia. Krisis ekonomi untuk pertama kalinya ya, Kek?”
Dasa
“Ah! Iya, iya! Krisis Moneter! Itu
bukan krisis ekonomi pertama untuk Indonesia, Nak. Krisis ekonomi pertama
terjadi ketika awal Indonesia merdeka. Ketika yang peduli pada bangsa masih
bisa ditemukan di seluruh pojok negeri. Krisis ekonomi itu terjadi karena
Indonesia tidak bisa membuat dua fokus antara kesejahteraan ekonomi dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.”
“Negara ini mulai korup, mulai rusak,
ketika aku masih duduk di bangku SMP, Nak. Dulu nama-nama seperti Gayus
Tambunan, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, Andi Mallarangeng, Si Menteri
Pemuda danOlahraga, bahkan Akil Mochtar, seorang Ketua MK! Proyek-proyek
seperti pusat olahraga Hambalang, wisma atlet SEA Games ke-26, lalu
peng-import-an daging sapi, bahkan kitab suci dijadikan celah untuk korupsi!
Dari situlah, Nak, dari para penjahat-penjahat itulah, muncul benih-benih baru
yang mematikan. Muhammad Nur Zulfiqar, Presiden ke-9 kita. ‘Si Pembunuh’.
Kukira tidak ada yang bisa lebih korup daripada dia, Nak. Lima puluh persen,
bayangkan! Lima puluh persen dana APBN raib olehnya!”
“Ardi. Namamu Ardi, bukan? Kau tahu,
Ardi, kukira negara ini sudah tidak bisa lebih hancur setelah kasus ‘Si
Pembunuh’ itu, Nak. Ternyata, setelah puluhan tahun merantau kesana sini,
setelah tanah kelahiranku dibeli untuk dijadikan pabrik-pabrik besar, yang
menyebabkan hujan mematikan ini, aku sadar bahwa inti permasalahan ini bukanlah
para penguasa-penguasa korup itu. Inti hancurnya negara ini karena sudah terlalu
banyak orang yang apatis, Nak”
Muka Dasa merah padam. geram
“Globalisasi membawa degradasi
moralitas kepada Indonesia. Beginilah jadinya negeri ini. Seluruh aspek
kehidupan mengalami keruntuhan. Jaminan kesehatan untuk rakyat tidak mampu
dicuri, lahan kosong, sawah, kebun, hutan, bahkan pedesaan di pelosok dijadikan
tempat bisnis bagi orang-orang korup, orang-orang serakah. Karena itulah
bencana kelaparan melanda negeri ini, khususnya bagi orang-orang yang tidak
bisa membeli makanan. Seluruh aspek kehidupan bagi orang-orang miskin tak bisa
dipenuhi.”
Dasa
“TAPI KENAPA JADI KITA YANG
DISALAHKAN?! Kitalah yang sekarang dipenjara dalam kota ini! Kota yang didesain
pemerintah untuk menampung orang-orang tak mampu, berpenyakit, kumuh, miskin,
‘tak layak hidup’! Sejak Muhammad Nur Zulfiqar diturunkan, bencana penyakit
terbesar dalam sejarah Indonesia menyerang.
Apakah kau sudah lahir waktu itu,
Nak? SARS, HIV, flu burung, semua penyakit yang sudah pernah menjadi bencana
untuk negeri ini kembali menyerang dalam jumlah yang tidak terkira. Bersamaan
pula! Orang-orang miskin yang tak memiliki uang untuk melakukan pengobatan,
digiring menuju sebuah kota, bahkan bisa kubilang negara kecil yang dikelilingi
tembok tinggi – yang membutuhkan dana triliunan rupiah, melewati empat masa
jabatan presiden, dibuat untuk mencegah penyakit yang kita bawa tidak menyebar
kemana-mana. Aku sangat ingat hari itu, Nak.”
Dasa
“Aku bersama jutaan orang lainnya
digiring seperti hewan ternak ke dalam sini. Anak kecil, remaja sepertimu,
orang-orang paruh baya, hingga orang yang sudah tidak kuat untuk mengangkat
kakinya, kalau sudah terjangkit penyakit dan tak bisa bayar pengobatan,
digiring ke sini. Ini namanya genosida untuk orang-orang tak mampu! Aku masih
ingat kata-kata Almira Maulana, Presiden kesepuluh kita, Si Lugu, Si Bodoh.
‘Mereka sudah tidak memiliki harapan. Kami berusaha melakukan tindakan yang
paling benar.’ katanya. Negeri ini lah yang tidak memiliki harapan!”
“Mungkin kalau ada novel berjudul
Indonesia Aftermath yang menceritakan kondisi Indonesia sekarang, di titik
klimaks kehancurannya, novel itu akan menjadi novel ber-genre distopia terbaik
di dunia, bahkan melangkahi Brave New World karangan Aldous Huxley.”
Ardi
“Aku tidak tahu pengetahuanmu begitu luas, Kek.”
Dasa
“Kau pasti tidak percaya kalau aku
dulu tidak lulus SD. Pengalaman adalah guru terbaik, Nak. Aku sudah pernah
mengunjungi seluruh sudut negeri ini. Bahkan, tanah tak terjamah di kawasan
Papua pun sudah aku taklukan, Ardi.”
Tiba-tiba muka Dasa terlihat sangat berat, matanya berkaca-kaca.
Dasa
“Kalau saja dahulu banyak anak muda
sepertimu. Peduli dengan bangsa, bukan begitu?”
Dasa menatap Ardi dengan penuh harap agar aku menjawab seperti apa yang dia
inginkan.
Ardi
“Kalau aku tidak cinta pada negeri
ini, aku tidak mungkin bersauh ke dalam tembok tinggi ini.”
Dasa
“Kau seorang novelis sukses di luar
sana, bukan?”
Ardi
“Jurnalis, Kek. Bukan novelis.”
Ardi tertawa.
Dasa
“Ah! Pemburu berita! Sangat banyak
berita yang bisa kau buru di dalam tembok ini, Nak. Bukan berita bahagia
tentunya.”
Ardi
“Kau sudah pernah berkata seperti itu
ketika kita pertama kali bertemu, Kek.”
Ardi ikut tertawa kembali.
Ardi
“Sama seperti Kakek, aku juga sudah
muak dengan semua hal di luar tembok ini. Ketika orang-orang di luar sana
menganggap bahwa di dalam tembok ini lah yang mereka sebut dengan distopia,
justru menurutku, di luar sanalah yang seharusnya disebut distopia.
Negeri yang
tak pernah diinginkan oleh siapa pun. Lima tahun ada di dalam sini, kabur dari
kehidupan mewah di luar sana, aku tidak pernah melihat satu pun kejahatan di
sini. Mungkin satu, ketika Si Jabrig mencoba mencuri sendal jepitku.”
mereka berdua kembali tertawa. Sangat menyenangkan ketika melihat Dasa
tertawa.
Ardi
“Aku justru menemukan kedamaian di
dalam tembok ini, Kek.”
“Walaupun kumuh dan bau?”
“Walaupun kumuh dan bau. Itu jawaban
untuk pertanyaan kakek di awal pembicaraan.”
Dasa
“Kau naif, Nak. Di sini tidak ada
kejahatan karena taraf kehidupan semua orang sama saja! Siapa yang mau mencuri
barang orang yang sama miskinnya dengan dia?” tawa Dasa makin keras.
Tiba-tiba Dasa memberikan senyuman, bukan senyuman biasa, senyuman penuh
harapan kepada Ardi.
Dasa
“Ardi, orang-orang sepertimu adalah
orang-orang yang diharapakan bangsa. Orang-orang yang diharapkan dapat membawa
kembali ‘kedamaian’ yang kau bicarakan tadi ke seluruh pelosok negeri.”
“Mengubah distopia ini menjadi
utopia.”
Mata layunya berbinar, tangannya menggenggam erat tangan Ardi, walaupun
gemetaran.Bruk. Dasa Terjatuh.
Ardi
“Kakek!”
FADE TO BLACK
Keesokan harinya, tanggal 1 Januari 2098, tepat ketika umurnya seratus tahun,
Dasa meninggal karena kompilasi penyakit yang dideritanya.
FADE TO BLACK
TEKS
Di
dalam sebuah distopia, pahlawan bukanlah seseorang yang mengangakat senjata
melawan penjajah. Bukan seseorang yang mendapat jabatan; bintang satu, dua,
tiga, empat, lima, atau bintang apa pun itu. Bukan pula orang-orang yang
berteriak di depan orang banyak, berbicara tentang moral.
Di
dalam sebuah distopia, pahlawan adalah seseorang yang masih peduli untuk
berbagi. Walaupun hanya sekedar berbagi pengalaman
CREDIT TITLE
Maaf, numpang promosi kakak...
BalasHapusTonton film pendek kami yaa, dgn judul "Aman-ah". Film yg kami buat adalah film-film yg menjurus pada pendidikan karakter, semoga dgn menonton film kami, kalian bisa mengambil hikmah yg terdapat pada film ini, aamiin...
Bantu juga untuk Like, Comment, Subscribe, dan Share yaa... :-)
Terimakasih kakak...
https://youtu.be/ggdKTkdk4PY
(Skenario saya, yg saya filmkan bersama [SH.PM Revolution's])
Maaf, numpang promosi kakak...
BalasHapusTonton film pendek kami yaa, dgn judul "Aman-ah". Film yg kami buat adalah film-film yg menjurus pada pendidikan karakter, semoga dgn menonton film kami, kalian bisa mengambil hikmah yg terdapat pada film ini, aamiin...
Bantu juga untuk Like, Comment, Subscribe, dan Share yaa... :-)
Terimakasih kakak...
https://youtu.be/ggdKTkdk4PY
(Skenario saya, yg saya filmkan bersama [SH.PM Revolution's])
Boleh di filmkan gak
BalasHapusHanya dengan membacanya saja bisa menggetarkan hati saya
BalasHapus